Jangan Lupa di subscribe yah kawan

Tampilkan postingan dengan label Toraja Video. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Toraja Video. Tampilkan semua postingan
[postlink]http://videotoraja.blogspot.com/2010/08/toraja-tahun-2_15.html[/postlink] [starttext]
http://www.youtube.com/watch?v=P1i9CvTRU1gendofvid


sejarah Singkat Tana Toraja
Konon, leluhur orang Toraja adalah manusia yang berasal dari nirwana, mitos yang tetap melegenda turun temurun hingga kini secara lisan dikalangan masyarakat Toraja ini menceritakan bahwa nenek moyang masyarakat Toraja yang pertama menggunakan "tangga dari langit" untuk turun dari nirwana, yang kemudian berfungsi sebagai media komunikasi dengan Puang Matua (Tuhan Yang Maha Kuasa).
Lain lagi versi dari DR. C. CYRUT seorang anthtropolog, dalam penelitiannya menuturkan bahwa masyarakat Tana Toraja merupakan hasil dari proses akulturasi antara penduduk (lokal/pribumi) yang mendiami daratan Sulawesi Selatan dengan pendatang yang notabene adalah imigran dari Teluk Tongkin (daratan Cina). Proses akulturasi antara kedua masyarakat tersebut, berawal dari berlabuhnya Imigran Indo Cina dengan jumlah yang cukup banyak di sekitar hulu sungai yang diperkirakan lokasinya di daerah Enrekang, kemudian para imigran ini, membangun pemukimannya di daerah tersebut.
Nama Toraja mulanya diberikan oleh suku Bugis Sidendereng dan dari luwu. Orang Sidendreng menamakan penduduk daerah ini dengan sebuatn To Riaja yang mengandung arti "Orang yang berdiam di negeri atas atau pegunungan", sedang orang Luwu menyebutnya To Riajang yang artinya adalah "orang yang berdiam di sebelah barat". Ada juga versi lain bahwa kata Toraya asal To = Tau (orang), Raya = dari kata Maraya (besar), artinya orang orang besar, bangsawan. Lama-kelamaan penyebutan tersebut menjadi Toraja, dan kata Tana berarti negeri, sehingga tempat pemukiman suku Toraja dikenal kemudian dengan Tana Toraja.
Sejarah Aluk
Konon manusia yang turun ke bumi, telah dibekali dengan aturan keagamaan yang disebut aluk. Aluk merupakan aturan keagamaan yang menjadi sumber dari budaya dan pandangan hidup leluhur suku Toraja yang mengandung nilai-nilai religius yang mengarahkan pola-pola tingkah laku hidup dan ritual suku Toraja untuk mengabdi kepada Puang Matua.
Cerita tentang perkembangan dan penyebaran Aluk terjadi dalam lima tahap, yakni: Tipamulanna Aluk ditampa dao langi' yakni permulaan penciptaan Aluk diatas langit, Mendemme' di kapadanganna yakni Aluk diturunkan kebumi oleh Puang Buru Langi' dirura.Kedua tahapan ini lebih merupakan mitos. Dalam penelitian pada hakekatnya aluk merupakan budaya/aturan hidup yang dibawa kaum imigran dari dataran Indo Cina pada sekitar 3000 tahun sampai 500 tahun sebelum masehi.
Beberapa Tokoh penting daiam penyebaran aluk, antara lain: Tomanurun Tambora Langi' adalah pembawa aluk Sabda Saratu' yang mengikat penganutnya dalam daerah terbatas yakni wilayah Tallu Lembangna.
Selain daripada itu terdapat Aluk Sanda Pitunna disebarluaskan oleh tiga tokoh, yaitu : Pongkapadang bersama Burake Tattiu' menuju bagian barat Tana Toraja yakni ke Bonggakaradeng, sebagian Saluputti, Simbuang sampai pada Pitu Ulunna Salu Karua Ba'bana Minanga, derngan membawa pranata sosial yang disebut dalam bahasa Toraja "To Unnirui' suke pa'pa, to ungkandei kandian saratu yakni pranata sosial yang tidak mengenal strata. Kemudian Pasontik bersama Burake Tambolang menuju ke daerah-daerah sebelahtimur Tana Toraja, yaitu daerah Pitung Pananaian, Rantebua, Tangdu, Ranteballa, Ta'bi, Tabang, Maindo sampai ke Luwu Selatan dan Utara dengan membawa pranata sosial yang disebut dalam bahasa Toraja : "To Unnirui' suku dibonga, To unkandei kandean pindan", yaitu pranata sosial yang menyusun tata kehidupan masyarakat dalam tiga strata sosial.Tangdilino bersama Burake Tangngana ke daerah bagian tengah Tana Toraja dengan membawa pranata sosial "To unniru'i suke dibonga, To ungkandei kandean pindan", Tangdilino diketahui menikah dua kali, yaitu dengan Buen Manik, perkawinan ini membuahkan delapan anak. Perkawinan Tangdilino dengan Salle Bi'ti dari Makale membuahkan seorang anak. Kesembilan anak Tangdilino tersebar keberbagai daerah, yaitu Pabane menuju Kesu', Parange menuju Buntao', Pasontik ke Pantilang, Pote'Malla ke Rongkong (Luwu), Bobolangi menuju Pitu Ulunna Salu Karua Ba'bana Minanga, Bue ke daerah Duri, Bangkudu Ma'dandan ke Bala (Mangkendek), Sirrang ke Dangle.
Itulah yang membuat seluruh Tondok Lepongan Bulan Tana Matari' Allo diikat oleh salah satu aturan yang dikenal dengan nama Tondok Lepongan Bulan Tana Matari' Allo arti harfiahnya adalah "Negri yang bulat seperti bulan danMatahari". Nama ini mempunyai latar belakang yang bermakna, persekutuan negeri sebagai satu kesatuan yang bulat dari berbagai daerah adat. Ini dikarenakan Tana Toraja tidak pernah diperintah oleh seorang penguasa tunggal, tetapi wilayah daerahnya terdiri dari kelompok adat yang diperintah oleh masing-masing pemangku adat dan ada sekitar 32 pemangku adat di Toraja.
Karena perserikatan dan kesatuan kelompok adat tersebut, maka diberilah nama perserikatan bundar atau bulat yang terikat dalam satu pandangan hidup dan keyakinan sebagai pengikat seluruh daerah dan kelompok adat tersebut.


Letak Toraja (hijau) diantara Makassar (kuning) dan Bugis (merah).
Teluk Tonkin, terletak antara Vietnam utara dan Cina selatan, dipercaya sebagai tempat asal suku Toraja. Telah terjadi akulturasi panjang antara ras Melayu di Sulawesi dengan imigran Cina. Awalnya, imigran tersebut tinggal di wilayah pantai Sulawesi, namun akhirnya pindah ke dataran tinggi.
Sejak abad ke-17, Belanda mulai menancapkan kekuasaan perdagangan dan politik di Sulawesi melalui Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Selama dua abad, mereka mengacuhkan wilayah dataran tinggi Sulawesi tengah (tempat suku Toraja tinggal) karena sulit dicapai dan hanya memiliki sedikit lahan yang produktif. Pada akhir abad ke-19, Belanda mulai khawatir terhadap pesatnya penyebaran Islam di Sulawesi selatan, terutama diantara suku Makassar dan Bugis. Belanda melihat suku Toraja yang menganut animisme sebagai target yang potensial untuk dikristenkan. Pada tahun 1920-an, misi penyebaran agama Kristen mulai dijalankan dengan bantuan pemerintah kolonial Belanda. Selain menyebarkan agama, Belanda juga menghapuskan perbudakan dan menerapkan pajak daerah. Sebuah garis digambarkan di sekitar wilayah Sa'dan dan disebut Tana Toraja. Tana Toraja awalnya merupakan subdivisi dari kerajaan Luwu yang mengklaim wilayah tersebut.[8] Pada tahun 1946, Belanda memberikan Tana Toraja status regentschap, dan Indonesia mengakuinya sebagai suatu kabupaten pada tahun 1957.
Misionaris Belanda yang baru datang mendapat perlawanan kuat dari suku Toraja karena penghapusan jalur perdagangan yang menguntungkan Toraja. Beberapa orang Toraja telah dipindahkan ke dataran rendah secara paksa oleh Belanda agar lebih mudah diatur. Pajak ditetapkan pada tingkat yang tinggi, dengan tujuan untuk menggerogoti kekayaan para elit masyarakat. Meskipun demikian, usaha-usaha Belanda tersebut tidak merusak budaya Toraja, dan hanya sedikit orang Toraja yang saat itu menjadi Kristen. Pada tahun 1950, hanya 10% orang Toraja yang berubah agama menjadi Kristen.
Pada tahun 1930-an, terjadi konflik-konflik antara penduduk Muslim di dataran rendah dengan orang Toraja. Akibatnya, banyak orang Toraja yang ingin beraliansi dengan Belanda berpindah ke agama Kristen untuk mendapatkan perlindungan politik, dan agar dapat membentuk gerakan perlawanan terhadap orang-orang Bugis dan Makassar yang beragama Islam. Antara tahun 1951 dan 1965 setelah kemerdekaan Indonesia, Sulawesi Selatan mengalami kekacauan akibat pemberontakan yang dilancarkan Darul Islam, yang bertujuan untuk mendirikan sebuah negara Islam di Sulawesi. Perang gerilya yang berlangsung selama 15 tahun tersebut turut menyebabkan semakin banyak orang Toraja berpindah ke agama Kristen.
Pada tahun 1965, sebuah dekret presiden mengharuskan seluruh penduduk Indonesia untuk menganut salah satu dari lima agama yang diakui: Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu dan Buddha.Kepercayaan asli Toraja (aluk) tidak diakui secara hukum, dan suku Toraja berupaya menentang dekret tersebut. Untuk membuat aluk sesuai dengan hukum, ia harus diterima sebagai bagian dari salah satu agama resmi. Pada tahun 1969, Aluk To Dolo dilegalkan sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.

[endtext]

TORAJA TAHUN 1860

[postlink]http://videotoraja.blogspot.com/2010/08/highlights-of-toraja-land.html[/postlink]http://www.youtube.com/watch?v=dB592VF8Sfoendofvid
[starttext]
From the 17th century, the Dutch established trade and political control on Sulawesi through the Dutch East Indies Company. Over two centuries, they ignored the mountainous area in the central Sulawesi, where Torajans lived, because access was difficult and it had little productive agricultural land. In the late 19th century, the Dutch became increasingly concerned about the spread of Islam in the south of Sulawesi, especially among the Makassarese and Bugis peoples. The Dutch saw the animist highlanders as potential Christians. In the 1920s, the Reformed Missionary Alliance of the Dutch Reformed Church began missionary work aided by the Dutch colonial government. In addition to introducing Christianity, the Dutch abolished slavery and imposed local taxes. A line was drawn around the Sa'dan area and called Tana Toraja ("the land of Toraja"). Tana Toraja was first a subdivision of the Luwu kingdom that had claimed the area. In 1946, the Dutch granted Tana Toraja a regentschap, and it was recognized in 1957 as one of the regencies of Indonesia.

Early Dutch missionaries faced strong opposition among Torajans, especially among the elite, because the abolition of their profitable slave trade had angered them.Some Torajans were forcibly relocated to the lowlands by the Dutch, where they could be more easily controlled. Taxes were kept high, undermining the wealth of the elites. Ultimately, the Dutch influence did not subdue Torajan culture, and only a few Torajans were converted. In 1950, only 10% of the population had converted to Christianity.

In the 1930s, Muslim lowlanders attacked the Torajans, resulting in widespread Christian conversion among those who sought to align themselves with the Dutch for political protection Indonesian independence, southern Sulawesi faced a turbulent period as the Darul Islam separatist movement fought for an Islamic state in Sulawesi. The 15 years of guerrilla warfare led to massive conversions to Christianity. and to form a movement against the Bugis and Makassarese Muslims. Between 1951 and 1965.
Alignment with the Indonesian government, however, did not guarantee safety for the Torajans. In 1965, a presidential decree required every Indonesian citizen to belong to one of five officially recognized religions: Islam, Christianity (Protestantism and Catholicism), Hinduism, or Buddhism. The Torajan religious belief (aluk) was not legally recognized, and the Torajans raised their voices against the law. To make aluk accord with the law, it had to be accepted as part of one of the official religions. In 1969, Aluk To Dolo ("the way of ancestors") was legalized as a sectAgama Hindu Dharma, the official name of Hinduism in Indonesia.
[endtext]

The Highlights of Toraja Land

[postlink]http://videotoraja.blogspot.com/2010/08/toraja-funeral-butcher-shop.html[/postlink]http://www.youtube.com/watch?v=U7HZzbLTLokendofvid
[starttext]
A Toraja Funeral "Butcher Shop"
[endtext]

A Toraja Funeral "Butcher Shop"

[postlink]http://videotoraja.blogspot.com/2010/08/toraja-and-funerals.html[/postlink]http://www.youtube.com/watch?v=5csjrfQV20wendofvid
[starttext]
Toraja funeral
Extravagant funeral ceremonies are a social and religious necessity in this Christian-Animist society because families have to impress the gods with the importance of the dead. If not, the soul of the dead person may not be able to enter heaven and will travel the earth instead, causing trouble for the relatives. Families keep the corpse of their kin in their strangely shaped three room houses for two or three years, while they save up for the sumptuous wake.
This fond and funky farewell involves the construction of an entirely new village of bamboo, sometimes with more than a hundred rooms, in which to entertain thousands of guests for up to seven days.

[endtext]

Toraja and Funerals

[postlink]http://videotoraja.blogspot.com/2010/08/entering-tana-toraja.html[/postlink]http://www.youtube.com/watch?v=e6yI6HtK40sendofvid
[starttext]
Entering Tana Toraja
[endtext]

Entering Tana Toraja

[postlink]http://videotoraja.blogspot.com/2010/08/your-collection-video.html[/postlink]http://www.youtube.com/watch?v=U7HZzbLTLokendofvid
[starttext]
Toraja
To Make a Dead Man Walk
In times past, when the villages of Tana Toraja were still extremely isolated and difficult to visit, it is said that certain people had the power to make a dead man walk to his village in order to be present at his own funeral. In this way, relatives of the deceased were spared the necessity of having to carry his corpse. One particular area, Mamasa ? West Toraja, was particularly well-known for this practice. The people of this area are not strictly speaking of the same ethnic group as the people of Tana Toraja. However, outsiders often refer to them as Toraja Mamasa. In many ways, the cultures of the two groups are similar, although they each have their own distingushing characteristics. In particular, the style of wood carving of the two groups is different.

According to the belief system of the people of Mamasa, the spirit of a dead person must return to his village of origin. It is essential that he meet with his relatives, so that they can guide him on his journey into the after-life after the ceremonies have been completed. In the past, people of this area were frightened to journey far, in case they died while they were away and were unable to return to their village. If someone died while on a journey, and unless he has a strong magic power, it would be necessary to procure the services of an expert, to guide the dead person back to the village.

This is not intended metaphorically-the dead person would be made to walk from wherever he had journeyed back home, no matter how far away that was. The corpse would walk stiffly, without any expression on his face, in the manner of a robot. If anyone addressed the dead man directly, he would fall down senseless, unable to continue his journey. Therefore, those accompanying the deceased on the macabre procession had to warn people they met on their path not to talk directly to the dead man. The attendants usually sought out quiet paths where the procession was less likely to meet with strangers. These days, the practice of walking the dead back to their place of origin has fallen out of currency.

Good roads now connect the villages of Tana Toraja, and people tend to rely on more conventional means of transportation for bringing bodies back home. The ability to bring the dead back to life has not been entirely forgotten, however. Sometimes, even now, the deceased is made to continue breathing and seems alive until all his relatives are gathered around him.More commonly, the skill is practiced on animals. At a funeral ceremony, when a buffalo has been sacrificed and its head separated from its body, the body is made to get up and walk for as long as ten minutes. A demonstration of this sort proves to the audience that the ability to bring the dead back to life has not entirely passed from the community.
[endtext]

your collection video

[postlink]http://videotoraja.blogspot.com/2010/08/bamboo-music-toraja.html[/postlink]http://www.youtube.com/watch?v=HxloQe3cagcendofvid
[starttext]
bamboo music toraja
[endtext]

bamboo music toraja

[postlink]http://videotoraja.blogspot.com/2010/08/toraja.html[/postlink]http://www.youtube.com/watch?v=D_glzfx4Aqcendofvid
[starttext]
Toraja
[endtext]

toraja

[postlink]http://videotoraja.blogspot.com/2010/08/pangala.html[/postlink]http://www.youtube.com/watch?v=OylorBjc7BUendofvid
[starttext]
Toraja
[endtext]

Pangala

[postlink]http://videotoraja.blogspot.com/2010/08/province-of-south-sulawesi-toraja.html[/postlink]http://www.youtube.com/watch?v=f1SlkLIyM2Uendofvid
[starttext]
Toraja
[endtext]

the province of South Sulawesi (toraja)

[postlink]http://videotoraja.blogspot.com/2010/08/ada-apa-dengan-toraja.html[/postlink]http://www.youtube.com/watch?v=mzLRuZ3QYXk&p=3CE732C80B0C4AF7endofvid
[starttext]
toraja

[endtext]

about Toraja, indonesia

[postlink]http://videotoraja.blogspot.com/2010/08/toraja-tahun-3.html[/postlink]http://www.youtube.com/watch?v=pbVJGfcybxYendofvid
[starttext]

[endtext]

in toraja, south sulawesi

[postlink]http://videotoraja.blogspot.com/2010/08/video-untuk-tana-toraja.html[/postlink]http://www.youtube.com/watch?v=ajhD9wxV2P8endofvid
[starttext]
love toraja
[endtext]

video untuk tana toraja

[postlink]http://videotoraja.blogspot.com/2010/08/video-untuk-tanah-toraja.html[/postlink]http://www.youtube.com/watch?v=oXBEuCwS-58endofvid
[starttext]
toraja
[endtext]

video untuk tanah toraja

[postlink]http://videotoraja.blogspot.com/2010/08/toraja-video-2.html[/postlink]http://www.youtube.com/watch?v=VLeZaNwztgMendofvid
[starttext]
toraja video
[endtext]

toraja video 2

[postlink]http://videotoraja.blogspot.com/2010/08/tana-toraja-funeral-celebration.html[/postlink]http://www.youtube.com/watch?v=Im0oSN0Ejg8endofvid
[starttext]
The Toraja are an ethnic group indigenous to a mountainous region of South Sulawesi, Indonesia. Their population is approximately 650,000, of which 450,000 still live in the regency of Tana Toraja ("Land of Toraja"). Most of the population is Christian, and others are Muslim or have local animist beliefs known as aluk ("the way"). The Indonesian government has recognized this animist belief as Aluk To Dolo ("Way of the Ancestors").

The word toraja comes from the Bugis language's to riaja, meaning "people of the uplands". The Dutch colonial government named the people Toraja in 1909. Torajans are renowned for their elaborate funeral rites, burial sites carved into rocky cliffs, massive peaked-roof traditional houses known as tongkonan, and colorful wood carvings. Toraja funeral rites are important social events, usually attended by hundreds of people and lasting for several days.

Before the 20th century, Torajans lived in autonomous Dutch missionaries first worked to convert Torajan highlanders to Christianity. When the Tana Toraja regency was further opened to the outside world in the 1970s, it became an icon of tourism in Indonesia: it was exploited by tourism developers and studied by anthropologists. villages, where they practised animism and were relatively untouched by the outside world. In the early 1900s, By the 1990s, when tourism peaked, Toraja society had changed significantly, from an agrarian model — in which social life and customs were outgrowths of the Aluk To Dolo - t o a largely Christian society.

[endtext]

tana toraja funeral celebration

[postlink]http://videotoraja.blogspot.com/2010/08/video-toraja-angry-pig.html[/postlink]http://www.youtube.com/watch?v=bEXcJcchvWAendofvid
[starttext]
Angry Pig of Sulawesi
[endtext]

video toraja Angry Pig

[postlink]http://videotoraja.blogspot.com/2010/08/drumband-sdn-340-inpres-rantemenduruk.html[/postlink]http://www.youtube.com/watch?v=BEKclg16164endofvid
[starttext]
Drumband SDN 340 INPRES, Rantemenduruk
[endtext]

Drumband SDN 340 INPRES, Rantemenduruk

[postlink]http://videotoraja.blogspot.com/2010/08/tanah-toraja-funeral-celebration.html[/postlink]http://www.youtube.com/watch?v=U1UsW1JD2fkendofvid
[starttext]
tana toraja funeral celebration
[endtext]

tanah toraja funeral celebration

[postlink]http://videotoraja.blogspot.com/2010/08/video-toraja-dangdut.html[/postlink]http://www.youtube.com/watch?v=B9DAVuKLK7gendofvid
[starttext]
video Toraja Dangdut
[endtext]

video Toraja Dangdut

 
close